Masa Depan Senja

Dia terbangun dan segera langsung pindah ke kamar Bundanya. Sembari menangis. Terisak. Bundanya segera tahu bahwa Senja mengalami mimpi buruk.

Tenaga Bundanya sudah tak banyak untuk meladeni karena aktifitas hariannya yang cukup padat. Sementara Senja masih menangis, alhasil Ayahnya dipanggil.

“Senja kenapa?”

“Senja mimpi buruk.”

“Tadi sudah berdoa sebelum tidur?”

“Sudah…”

“Mimpi apa, memangnya?”

“Mimpi Ayah dan Bunda ninggalin Senja…”

(Deg.)

Saya ambil jeda sejenak.

“Kami tentu tidak akan meninggalkan Senja. Ayah Bunda selalu ada di samping kamu. Itu sekadar mimpi, sama seperti mimpi-mimpi yang lain.”

Saya jawab begitu sembari pikiran melayang-layang kepada hal-hal yang sentimentil. Tidak jarang juga saya punya bayangan akan meninggalnya Ayah saya—yang pasti akan terjadi dan saya tahu bahwa saya tak akan pernah siap untuk itu.

Lalu Senja sambil masih terisak meneruskan igauannya: “Tapi akan…”

Pikiran saya semakin melayang kemana-mana. Beberapa bayangan buruk mulai datang.

Dalam keadaan lebih tenang beberapa hari setelahnya, dia bercerita banyak kepada Bundanya. Ternyata dia memang bermimpi tentang kematian orangtuanya. Mimpi pertama hadir saat dia harus diungsikan ke rumah Neneknya karena isolasi omicron yang menyerang Ayah-Bundanya. Tapi dia tahan. Dia tidak mau terlihat menangis. Dia malu.

Lalu entah rangkaian nalar apa yang berproses di pikirannya, perihal mimpi ini jadi merembet kemana-mana. Senja jadi urung bercita-cita menjadi penjelajah saat nanti besar karena dia takut sendirian. Senja ingin terus kecil saja agar Bundanya tak menjadi tua. Senja ingin kerja saja saat ini, tapi bingung mau kerja apa.

Jujur saya takjub apa yang saya lihat pada Senja ini, terlebih bila saya membandingkan dengan diri saya saat berumur 8 tahun dulu. Mungkin dalam umur itu, saya masih asik main kelereng sembari melap ingus yang membentuk angka 11 naik turun.

Namun anak-anak sekarang barangkali memang mengalami percepatan pendewasaan. Kemajuan teknologi, perkembangan media sosial, dan hal lainnya di sekitar itu menjadikan mereka terpapar begitu banyak hal tanpa batas. Mereka tahu lebih banyak dalam usia lebih muda dibanding pengalaman orangtuanya. Hal yang mesti dikawal juga oleh para orangtua agar tak bablas ke arah yang malah merugikan.

Perkara mimpi tadi, sesekali masih mengisi obrolan di keluarga kecil ini. Senja ingat lagi mimpinya saat Kakak Pengajar Ngaji di masjid depan rumah menerangkan perihal doa untuk kedua orangtua. Senja terisak kembali setelah satu fragmen komik Kobochan membangkitkan ketakutannya. Lalu di kali yang lain, kami juga tak paham apa hal yang memacu kekhawatirannya tersebut. Dia bisa saja terisak tiba-tiba dan memeluk Bundanya.

“Senja takut masa depan Senja akan sendirian…”

Lalu keluarlah petuah si Ayahnya: kita tidak akan pernah sendirian selama kita terus berusaha menjadi orang baik. Kita bisa terus menciptakan teman bahkan keluarga-keluarga baru. Masa depan tidak ada yang tahu, Nak… setiap kita pasti akan menuju Tuhan. Setiap orang pasti terus bertambah usianya, memang begitulah cara kerja hidup. Hal yang penting untuk kamu lakukan sekarang adalah menghargai apa yang ada saat ini, baik itu orang ataupun barang. Sisanya, kamu kuatkan dalam doa. Semoga Ayah-Bunda-Nenek-Kakek-Eyang-Ibu-dll. senantiasa sehat dan dijaga Tuhan.

Saya tak yakin dia paham semua yang saya sampaikan. Malam ini barangkali kita cukup mengucapkan doa mimpi buruk dulu saja—seperti yang tempo hari kita cari tahu.

Ayah Pulang Kerja

Tiap kali melihat seseorang laki-laki yang masih bekerja saat langit sudah gelap, pikiran seketika kembali ke masa kecil dan sepenuhnya tentang Ayah.

Ayah tidak punya kantor. Bekerja serabutan sedari kecil. Pernah menjadi pedagang gorengan keliling kampung. Pernah juga menjadi tukang panjat kelapa. Lalu bermuara menjadi peternak kuda—hingga kini. Sebuah dunia yang mempertemukannya dengan Ibu.

Ada sisi gentlemen yang saya banggakan dari Ayah. Nasib mudanya serupa cerita sinetron: seorang pemuda kampung yang miskin jatuh cinta pada anak majikannya sendiri. Ayahmu laki-laki yang bertanggungjawab, cerita Ibu suatu waktu mengenai alasan mengapa Ibu mau dengan Ayah. Meski yaa… pacarnya banyak waktu itu, lanjut Ibu. Ruangan tengah waktu itu langsung penuh tawa. Hangat.

Ayah segera membawa Ibu ke ‘atap yang lain’ berbekal seekor kuda dari Kakek. Ayah ingin sesegera mungkin mandiri dan menunjukkan kelaki-lakiannya dalam membangun keluarga. Kuda berkembang menjadi satu dan dua ekor sebagai tabungan keluarga. Saban hari, Ayah menjadi kusir Bendi (nama delman di Minangkabau). Saya lahir di tahun kelima pernikahan mereka. Saya anak pertama.

Pada periode saya kecil, Bendi masih menjadi angkutan barang utama di kota kecil kami. Motor belum banyak—apalagi mobil. Bendi adalah kesayangan ibu-ibu saat berbelanja ke pasar, atau menjadi tumpuan pelajar untuk pergi dan pulang sekolah. Sehingga Ayah bisa saja keluar rumah sepagi mungkin untuk mengantar para pelajar—saat itu bahkan sudah mengenal konsep “langganan”. Sudah ada daftar tetap yang Ayah antar ke sekolah tiap paginya. Dan Ayah kembali ke rumah sekitar jam 8 atau 9 malam.

Saya selalu menantikan Ayah pulang. Karena Ayah biasanya pulang dengan cemilan untuk saya dan adik-adik. Kadang sebungkus biskuit. Kadang tahu Sumedang bila pendapatan hari itu baik. Di kadang yang lain, Ayah tak bisa membelikan apapun.

Tiap kali melihat seseorang yang masih bekerja saat langit sudah gelap, ingatan saya kembali pada rasa senang tiap Ayah pulang. Ayah biasanya membunyikan lonceng Bendi saat memasuki halaman. Saya segera berlari ke pintu belakang untuk menyambutnya. Menemaninya melepaskan kuda dan memandikan kuda yang dipakai hari itu dengan air hangat. Ibu biasanya sudah tahu kapan harus menyiapkan air hangat ini, sehingga bisa langsung dipakai segera setelah Ayah pulang. Ada hal lain yang saya sadari belakangan perihal ini: memandikan kuda dengan air hangat tadi adalah sebuah wujud terima kasih. Kuda memang sudah seperti anggota keluarga bagi kami. Tak jarang kami menangis bersama bila kuda harus dijual. Atau di kesempatan lain kudanya sakit. Dan saya pernah melihat satu kuda menempelkan kepalanya menunduk ke sudut kandang membelakangi Ayah yang sedang marah. Seolah-olah tahu dia sedang dimarahi dan menerima semua omelan Ayah.

Tiap kali melihat seseorang yang masih bekerja saat langit sudah gelap, segera rasa syukur menghangatkan badan saya. Jeda pandemi yang memelankan seluruh aspek hidup kita hari-hari ini memang mampu menjadikan kita melihat kembali apa yang dijalani dan dimiliki. Bagi kalian yang Ayahnya tak perlu bekerja sampai langit gelap, bersyukurlah. Sesungguhnya itu adalah sebuah kemewahan tersendiri. Beberapa Ayah memang harus menahan dingin dan letih badannya sendiri, terkadang untuk sekedar sebungkus biskuit atau tahu Sumedang yang menyenangkan anaknya di hari itu. Sekarang Ayah sudah tak pernah pulang malam lagi. Tak harus menjadi kusir Bendi—bukan sekadar karena kalah persaingan dengan ojek dan motor pribadi, tetapi karena memang sudah lebih membaik aspek ekonomi keluarga kami. Ayah lebih banyak menghabiskan waktu untuk kuda pacuannya, membawa mereka jalan pagi dan sore ke lapangan sebelah rumah, menghirup udara segar, badan yang terus bergerak, lengan, dan pikirannya tenang—terlebih di masa pandemi dimana kekhawatiran banyak muncul pada mereka yang bekerja di ruangan dan harus bertemu dengan banyak orang.

Paman dan Tante Kesayangan Kami

Tek Sua, Acan… sampai jumpa lagi. Nanti aku belajar dari kalian lagi.

Wisuda magister bulan Mei lalu adalah salah satu momen bahagia diri di tahun ini, lalu Tek Sua, tante, pulang ke Pelukan Tuhan beberapa hari sebelumnya. Juni penuh dengan hal-hal membahagiakan. Awal Juli, Acan, paman, juga kembali pada-Nya.

Kesedihan benar-benar tak pernah pergi ya, semesta, dia hanya terus bertukar wajah.

Mereka berdua benar-benar menjadi pilar dari hendak menjadi orang seperti apa saya ini. Saya belajar tentang keteguhan dalam menghadapi nasib benar-benar dari orang terdekat.

Tek Sua adalah adik kedua Ayah. Mereka 4 bersaudara, paman termuda saya dari Ayah mengalami tuna grahita, tapi tak pernah kekurangan kasih sayang akibat kekurangannya. Beliau berpulang beberapa tahun lalu, membawa setengah semangat hidup Nenek.

Semua anggota keluarga dididik keras oleh keadaan. Ekonomi keluarga menjadikan mereka tak pernah punya keleluasaan memilih. Ayah hanya sampai kelas 3 SD, setelah banyak waktunya harus habis untuk berjualan gorengan keliling kampung. Atau kadang membantu memanen kelapa. Adik-adiknya juga tak lebih baik. Hanya Tek Sua barangkali yang sedikit lebih baik, sampai SMK—kata Ayah, perempuan harus lebih tinggi sekolahnya. Tek Sua satu-satunya anak perempuan di keluarga itu.

Tek Sua membantu Nenek mengurusi sawah warisan yang lumayan besar. Hasilnya dipakai untuk hidup sepanjang tahun. Cukup. Dan pada suatu kondisi yang lebih baik, Tek Sua membuka satu warung kopi di depan rumah Nenek. Kadai, kalau orang Minang menyebut sebuah warung. Kadai dulunya merupakan bagian dari kebudayaan Minang, tempat orang (umumnya laki-laki) berkumpul sepulang sembahyang dari surau selepas isya. Di tempat ini mereka membincangkan apa saja, mulai dari obrolan ringan sampai berdebat. Pulang ke rumah baru selepas tengah malam, kadang-kadang. Begitu terus setiap hari. Sebelum televisi masuk ke tiap rumah, dan kini smartphone masuk sampai ke kamar.

Tek Sua menikah dengan laki-laki dari kampung sebelah. Kondisinya tak lebih baik. Waktu akhirnya menunjukkan bahwa harus Tek Sua lah yang menjadi tulang punggung keluarganya, sementara suami bekerja serabutan lebih banyak tak menghasilkan.

Tapi tak pernah sekalipun saya dengar dia mengeluh. Dia tetap riang tiap bertemu saya, menjamu saya bak raja dan seolah dia memiliki begitu banyak hal di dunia—kekayaan mungkin lebih ke state of mind dibanding jumlah tabungan di rekening.

Anak pertama kemudian lahir, lalu kedua, dan ketiga. Laki-laki semua. Warung tetap berjalan seperti biasa dan bertahan. Pernah pada suatu kali saya melihat seorang pelanggan mengambil barang ini dan itu… pelanggan tanya harganya, Tek Sua sebutkan. Saya tahu bahwa Tek Sua mengambil laba kelewat sedikit dalam sudut pandang saya. Pelanggan mengambil barangnya lalu meminta ditambahkan dalam catatan daftar hutangnya. Ya Tuhan… laba segini dan dibayar entah kapan.

Saya tanya. “Tek Sua tak masalah dihutangi begitu? Kan labanya juga tak banyak…” sembari protes.

“Tidak masalah. Memang begitu kalau di sini…”

Kelapangan yang dia miliki inilah yang kemudian membentuk bagaimana sikap orang terhadap Tek Sua. Seumur hidup saya ini, belum pernah saya melihat begitu banyaknya orang mengantar jenazah seperti di pemakanan Tantemu ini, kata Ayah saat saya bertanya perihal hari penuh sunyi itu.

 

Acan adalah pilar teguh yang lain. Beliau praktis menjadi kakak tertua setelah anak pertama di keluarga Ibu meninggal muda. Ini yang kemudian saya jadikan panutan tentang bagaimana cara menjadi anak pertama yang baik.

Ketika adik-adiknya ribut tentang pembagian tanah yang ditinggalkan Nenek-Kakek, dia tidak ikut-ikutan. Sama sekali tidak mengambil sepeser pun dari bagian atau bahkan keuntungan dari pembagian itu—maklum beberapa tanah kemudian disewakan kepada orang lain. Dia memilih menjauh, membeli satu tanah kecil di kampung orang, agak berjarak dari jalan raya, menujunya dulu hanya bisa naik sepeda motor, kini sudah sebesar jalan 1 mobil. Tanah ini bertetangga dengan pekuburan, hal yang tentu dihindari oleh siapa saja yang hendak memilih tempat bermukim, hingga kini. Tapi karena keterbatasan ekonomi jua lah, hanya tanah ini yang mampu dia dan istri beli. Rumahpun dibangun dari amat sangat sederhana dulu. Dari kayu, lantainya tanah. Lalu tambah beton di sana sini. Baru belakangan saja rumahnya rampung. Kecil, sederhana, cukup dan indah. Gabungan beton dan kayu. Komposisinya baik, karena memang dia adalah seorang tukang.

Dia memilih menjadi tukang. Profesi yang cukup keras tapi dia jalani dengan ringan saja. Pada suatu kepulangan, saya bertemu dengannya, kulitnya sedang sangat legam terbakar matahari. Tapi senyum ramah tak pernah hilang dari wajahnya. Keceriaan ini yang menimbulkan luka pada diri saya sendiri—dia adalah paman yang tak mungkin saya biarkan menderita segitunya oleh nasib.

Sudah umum di Minangkabau untuk mengedepankan pendidikan anak di atas kepentingan apapun di dunia ini. Apapun mesti dilakukan demi anak tetap bisa bersekolah. Begitu juga di Ayah dan Ibu, tapi mereka tetap butuh penopang untuk keputusan akhir menyekolahkanku ke Bandung. 40 jam jaraknya dari rumah. Hampir 2 hari 2 malam di masa di mana pesawat hanya untuk orang yang benar-benar kaya. Bukan sebuah keputusan mudah. Ayah dan Ibu kemudian ditopang oleh Kakek dan Acan.

Acanlah salah satu orang yang ngotot saya harus disekolahkan ke Jawa. Dia besarkan hati Ibu bahwa rezeki bisa dicari dan kesempatan mungkin benar-benar hanya datang sekali. Sebagai perbandingan, saat itu, hanya ada 1 orang anak di kota kecil itu yang mampu tembus ke ITB tiap tahunnya. Saya masih ingat raut wajah bangga Acan saat membaca namaku tertulis di bagian paling atas daftar anak didik sebuah bimbingan belajar yang tembus kuliah di ITB. Ini keponakanku, katanya.

Setelah saya kuliah di Bandung, kami bertemu praktis hanya sekali dalam setahun. Bila saya pulang hari ini, besoknya saya pasti langsung ke rumah kecilnya. Dalam bertahun-tahun lamanya, keadaan tetap tak membaik. Pernah suatu kali saya datang di sebuah sore dan itu adalah jam-jam anaknya mandi. Acan punya 3 orang anak, 2 perempuan dan laki di bungsu. Saya lihat handuk mereka. Compang camping! Benar-benar compang camping! Sementara anak semakin beranjak gadis.

Tapi tetap tak ada keluhan. Yang ada benar-benar hanya rasa syukur yang tulus. Tak dibuat-buat, kau tentu tahu bedanya. Dan sekali lagi, ini membekaskan luka di diri saya sendiri. Di luar saya yang mampu membuatnya bangga, saya juga harus membantu agar nasib tak terlalu keras pada mereka. Dan terbukti bahwa saya belum segitunya berguna.

Acan kemarin sore dibawa ke rumah sakit karena perutnya semakin sakit. Penyakit liver, kata dokter. Malamnya dia berpulang.

 

Dua orang ini kini telah kembali. Adik Ayah dan Kakak Ibu. Tentu separuh jiwa mereka kehilangan. Kalau sudah begini, pertahanan saya tentu jebol juga.

Kemarin Ibu mengabari, telepon kami berjalan sangat singkat. Saya sedang dilanda kosong, apalagi Ibu. Pagi tadi saya telepon kembali Rumah, Ibu menangis, saya diam saja. Tak mau menambah sedihnya.

Di dua kehilangan ini, saya tak bisa berbuat banyak. Saya tak bisa melihat mereka untuk terakhir kalinya. Pesawat tercepat hanya mampu membuat saya sampai sore atau malam di rumah.

“Tak apa, Nak…” kata Ibu.

Tapi ini getarnya tak kunjung berhenti… saya tulis ini dengan begitu banyak jeda. Jari saya bergetar. Pertahanan saya runtuh.

Ellie

16 Juni 2018

Sudah lama punya keinginan untuk memiliki kelinci di halaman, dan baru tahun ini menjadi kenyataan. Setelah terus berpindah rumah, kali ini halaman belakang sudah cukup luas dan nyaman. Maklum, tak berniat sedikit pun memelihara mereka hanya untuk ditahan di dalam kandang.

Saya ingin halaman belakang yang hidup. Setelah sebelumnya ada kupu-kupu putih yang sering hadir—atau sesekali kunang-kunang. Betapa menyenangkan melihat ada yang melompat riang di bawah kakimu, atau berlarian ke sana ke mari pada taman kecil dengan rumput hijau merekah. Di sudut taman ada bunga matahari. Di sisi sebelah kanan ada meja kayu kecil yang menjadi alas bagi arbei, melon, jagung, dan pepaya. Bagi saya, kupu-kupu, rumput hijau, tanaman kecil, dan angin yang sering mampir, adalah pertanda tempat ini diberkahi. Dan saya ingin menambahnya.

Lalu kami membeli kelinci—sepasang, coklat dan putih, seperti yang pernah saya ceritakan sebelum ini. Kami beli mereka dengan kesadaran. Pedagang kelinci sempat sangsi bahwa saya tetap akan membeli Ellie dengan tangan kanannya cacat. Semacam tumbuh tidak sempurna sedari kecil. Bagi saya tak ada soal. Ellie dan Don saya bawa pulang.

Tak ada satu orang pun di rumah yang pernah dan paham bagaimana cara memelihara kelinci.

Dan jadilah kami belajar.

Bahwa mereka makhluk yang lebih aktif di malam hari. Yang senang pada kangkung, bayam, dan ternyata bisa juga bosan pada wortel. Yang suka menggali lubang-lubang kecil, dan menjadi lubang besar dan panjang bila hendak melahirkan. Yang datang ketika saya baru pulang dan melompat-lompat genit seolah girang sekali. Yang tumbuhnya saya lihat benar. Dari awalnya kecil mungil menjadi sepasang induk yang baik—iya, sepasang induk yang baik.

Ellie merontokkan bulunya, suatu waktu. Kata orang, itu adalah pertanda bahwa dia akan melahirkan. Kami tunggu beberapa lama, tak jua ada pertanda. Kami tak pernah meninggalkannya dalam waktu yang lama, dan dia juga tak pernah hilang dari pandangan kami dalam waktu yang lama.

Tahu-tahu anaknya sudah besar saja. Bulat, berbulu, dan begitu menggemaskan. Ada lima ekor yang bertahan—kami memanggil mereka Lima Sekawan. Saya menyelipkan kekaguman pada Don dan Ellie yang entah bagaimana dan kapan waktunya, mereka melahirkan dan membesarkan anak-anaknya dengan begitu baik. Tahu-tahu, kami dihadiahi 5 anak kelinci baru yang sehat dan tentu hasil disusui dengan baik. Tahu-tahu kami menjadi sangat berbahagia karena tambahan anggota keluarga.

Saya melihat Ellie pada dasarnya sama dengan makhluk perempuan spesies apapun yang juga mengalami hamil-melahirkan-menyusui. Ellie tiba-tiba makannya banyak, cenderung menghindar bila didekati, dan sangat tidak nyaman bila perut bagian bawahnya dipegang. Ellie suka terengah-engah sendiri. Dia suatu waktu menjadi sangat gemuk, untuk kemudian menjadi kurus sekali. Tangannya yang cacat, tak pernah menjadi halangan baginya untuk melakukan apapun—termasuk membuatkan lubang nyaman bagi dirinya sendiri melahirkan.

Don agak lain. Tenang berwibawa selayaknya seorang bapak. Bila Ellie kotor bulunya, mungkin karena kena tanah yang dia gali, maka Don akan memandikannya dengan menjilati bulunya. Kami pernah mencoba memandikan Ellie, tapi Don ternyata membersihkannya dengan lebih baik. Ellie akan putih cemerlang lagi.

Di lain waktu kamu akan lihat mereka bersantai-santai saja selayaknya sepasang orang tua baru. Ellie bersandar ke tubuh Don, atau sebaliknya. Di lain waktu lagi, Ellie akan menggedor-gedor kandang tempat Lima Sekawan kami karantina, itu tandanya dia hendak masuk. Kami akan memasukkannya ke dalam kandang, seketika Lima Sekawan menyerbu untuk menyusu. Jumpalitan sampai tak peduli lagi posisi badan. Lima Sekawan betul-betul menggemaskan. Sesekali Don akan ikut, menyiumi anaknya seperti memastikan semua baik-baik saja. Apabila Ellie sedang di dalam kandang dan kami sudah tertidur, dia akan membuat keributan… itu pertanda dia mau dibebaskan lagi. Bertemu Don dan kembali berlarian di halaman belakang rumah.

 

Don dan Ellie adalah zona nyaman saya yang baru. Mengelus bulu mereka yang halus sembari melihat langit dan bintang-bintang pada dini hari yang sepi adalah keriangan tersendiri. Saya, yang juga manusia malam, merasa benar-benar mereka temani. Saya bisa saja ke taman belakang jam 2 atau 3 dini hari, mereka akan datang menghampiri. Ketika saya duduk, mereka duduk nyaman di samping saya. Begitupun bila pintu menuju halaman belakang saya buka, mereka sesekali melihat ke dalam, tapi tak pernah mau masuk rumah meskipun sudah saya ajak.

Ellie belakangan agak berbeda. Dia makin sering bersuara, padahal kelinci cenderung tidak bersuara. Dan gelisah. Kami mengira dia hamil lagi—seperti perkataan seorang kawan bahwa kelinci cenderung tak berhenti berreproduksi meski baru saja melahirkan. Dia kembali kurus. Tulangnya terasa tiap kali saya mengusapnya.

Tadi pagi kami masih bermain. Sore ini dia sudah terbujur kaku di dalam lubang kelinci tempat dulu dia melahirkan. Hati saya hancur. Mata saya panas…

Aduh, ada debu di mata. Maaf, nanti saya lanjut ceritanya…

Satu Pergi demi Lima Sekawan

Malam itu rumah dikagetkan oleh penampakan sebuntal daging berbulu warna coklat yang berjalan perlahan—gerak yang mengisyaratkan perpaduan antara ketakutan dan rasa penasaran akan sebuah dunia yang baru. Buntalan itu awalnya kami kira sebagai tikus. Agak aneh juga. Karena rumah ini tak memiliki tikus, apalagi buntalan ini seukuran tikus got. Tikus got lebih jarang lagi di rumah ini. Ternyata buntalan itu adalah anak kelinci! Anaknya Don dan Ellie.

P_20180603_171546_1

Rumah langsung heboh. Senja akhirnya terbangun dan ikut mengendap-endap agar si anak kelinci tak kabur bersembunyi. Maklum, setiap ada suara yang agak keras, mereka akan segera terkejut dan lari bersembunyi. Bayangkan kaki-kaki kecil dan gemuk mereka melompat tergesa-gesa tapi belum bisa jauh. Lucu sekali. Anak kelinci akan lahir seperti anak tikus, berwarna merah tanpa bulu. Tapi yang ini sudah lebat sekali bulunya. Ketika kami bertanya kepada teman yang paham soal dunia kelinci, mereka menduga bahwa anak kelinci ini sudah berumur setidaknya 2-3 minggu.

Ini agak mengharukan karena kami memang sangat menunggu-nunggu kejelasan perihal kehamilan Ellie. Kami yakin dia sudah hamil sejak jauh hari mengingat kegiatan yang dia lakukan bersama Don—tubuhnya membesar, lebih besar dari Don; nafsu makannya bertambah; puting susunya mulai muncul. Kami terus perhatikan perilakunya. Tapi tak pernah menemukan dia ‘menghilang’ dari pandangan kami dalam jangka waktu yang lama. Kami menduga bahwa kelinci akan membutuhkan waktu melahirkan yang agak lama—setidaknya lebih dari 24 jam. Tapi ini tidak. Tiba-tiba saja anaknya sudah sebesar itu.

Melihat kenyataan bahwa anak mereka lahir dengan selamat dan tumbuh sehat, kami menyelipkan kekaguman pada mereka berdua. Don dan Ellie adalah orangtua kelinci yang baik. Ellie sesekali mendekati anaknya yang sudah berani bermain di luar lubang tadi untuk menyusui, sedangkan Don akan mengawal tiap kali kami mencoba mendekati anaknya. Mereka, sungguh, manis sekali.

Keesokan harinya muncul lagi satu lagi. Warnanya sama, abu tua seperti warna Don. Menjelang sore, muncul 2 lagi dengan warna belang abu dan putih. Sudah 4. Karena penasaran, akhirnya kami lihat ke dalam rabbit hole yang ternyata lebih dalam dan besar dari yang kami bayangkan. Di dalamnya setidaknya ada 2 atau 3 ekor lagi. Kami sumringah, setidaknya akan ada 6 atau 7 anak kelinci.

P_20180603_171302-e

Tapi kegembiraan itu terusik tepat jam 3 dini hari. Pengeras suara di masjid sudah mulai keras memberitakan perihal waktu sahur. Di halaman belakang ada suara heboh. Saya segera ke sumber suara. Yang terlihat adalah Ellie, suara itu datang dari perbuatan dia. Don berdiri tak jauh dari Ellie dengan kepala mendongak—aku tak tahu bagaimana harus menceritakannya pada kalian, tapi itu adalah ekspresi Don yang terkejut sekaligus takut. Lalu di halaman belakang ada kucing dalam posisi siaga. Sedikit merunduk. Dan tak bergeming saat saya usir. Sial! Sepertinya saya tahu apa yang terjadi.

Adalah umum diketahui bahwa kucing masih memiliki sifat predatornya. Terkadang mereka makan anak kucing yang lain, dan anak kelinci termasuk salah satu yang mereka makan. Awalnya saya menduga bahwa ukuran anak kelinci ini sudah cukup besar untuk tidak menjadi mangsa kucing. Ternyata saya salah. Kucing yang siaga tadi tak pernah saya lihat sebelumnya. Yang biasanya datang ke rumah ini di dini hari adalah kucing hitam legam yang senang memakan sisa makanan di dapur. Tapi bukan kucing ini.

Saya segera menuju kucing yang siaga tadi, saya ambil tongkat hendak mengusirnya. Dia kabur naik pohon. Di atas rumput tempat dia tadi diam, tergeletak satu anak kelinci. Berwarna abu gelap. Dia sudah diam saja. Tak bernafas lagi. Hati saya hancur.

P_20180604_040430_LL

Saya ingat sekali bungah yang masih ada sejak kemarin malam hingga tadi sore. Lalu dalam genggaman saya, satu di antara mereka sudah pergi dan tak akan kembali. Mulutnya berdarah. Darahnya mengalir ke telapak tangan saya. Bulunya halus. Halus sekali. Saya ucapkan maaf berulang-ulang kali. Iya, berulang-ulang kali. Karena tak mampu menjaganya dengan lebih baik.

Kucing tadi masih di atas pohon. Seperti sedang memantau apa yang terjadi di bawah sini. Dan saya tahu, dia akan kembali lagi. Dan saya tak mau kehilangan lagi.

Dini hari itu, sesaat sebelum sahur, saya sibuk di halaman belakang. Saya bongkar rabbit hole itu pelan-pelan agar tak runtuh dan justru malah menimbun anak kelinci yang ada di dalamnya. Saya keluarkan mereka, masukkan ke dalam kandang. Tapi mengapa hanya ada dua? Kemana setidaknya 3 anak kelinci yang lain? Dalam kondisi cemas, panik, dan kesal membayangkan jangan-jangan kucing itu sudah memakan semua dan hanya menyisakan dua anak kelinci ini, saya mencari ke seluruh halaman belakang. Beruntung, 3 anak kelinci lain tengah terlelap nyenyak di belakang lemari pendingin. Hati saya lega, setidaknya ada 5 yang selamat.

Saya namai mereka Lima Sekawan. Sembari menikmati keriangan mereka, saya teringat pada si Abu Gelap yang harus pergi. Entah saya harus berterima kasih atau apa, tapi sungguh… kepergiannya adalah berkah bagi Lima Sekawan. Tanpa dia menjadi korban, kami bisa saja tak sadar apa yang terjadi, dan kucing itu akan kembali lagi dan memakan semua anak kelinci ini.

P_20180604_113655

Dalam hati yang masih kacau, dini hari semakin dingin, waktu sahur sudah hampir habis… saya gali petak kecil tanah di sudut dekat mesin cuci. Saya buatkan makam sedehana baginya… saya tutup wajahnya dengan selembar daun agar tak diganggu oleh tanah timbunan. Di telapak tangan saya masih membekas darahnya. Saya usap dia beberapa kali untuk yang terakhir. Saya ucapkan khidmat, maaf dan terima kasih.

Selamat jalan Abu Gelap. Sampai jumpa lagi, nanti kita buat janji di kehidupan setelah ini.

P_20180604_042350_LL-e_resize

Makam itu saya beri nisan kecil. Keesokan harinya, Senja dan temannya menaburkan bunga dan daun di atasnya.

Saya langsung melihat langit. Tak kuat….

Ayah, Don, dan Ellie

P_20180128_095119-E_resize

Kami punya sepasang kelinci yang kami beli saat mereka masih gadis dan jejaka. Sekarang sudah tidak lagi. Mereka kami namai Don dan Ellie. Don berbulu coklat halus, sedangkan Ellie berwarna putih cerah dan tangan kanannya cacat sejak lahir. Hanya dalam beberapa bulan saja, mereka berdua tumbuh mendewasa—beberapa kali kami memergoki mereka melakukan hubungan dewasa, mereka tak terganggu, santai saja. Mereka senang menggali di sana dan sini, yang agak mengkhawatirkan adalah mereka juga melakukan itu di bawah mesin cuci. Tanahnya sudah berlubang agak dalam, ada kemungkinan mesin itu akan kehilangan tempat berpijak dan jatuh terguling ke bumi.

Don dan Ellie ini menjadi semacam good vibes untuk keluarga kecil kami. Mengelus bulu mereka yang halus sudah menjadi kebiasaan menyenangkan bagi kami.  Melihat mereka melompat-lompat riang dan caper tiap melihat kami, semua berbahagia. Terlebih bila itu dilakukan di malam hari, saat hanya ada sedikit bintang malam itu, mungkin karena kamu sedang cantik-cantiknya.

Dari Don dan Ellie kami belajar perihal dunia kelinci. Selain senang membuat lubang—sehingga ada istilah rabbit hole, kelinci ternyata memang makhluk nocturnal, mereka lebih aktif di malam hari. Mereka bisa saja bermalas-malasan sepanjang hari, yang bila kamu ikut melihatnya, niscaya kamu akan ikut kesal seperti kami. Bayangkan, sepasang kelinci muda yang sepanjang hari hanya bermalas-malasan. Mau dibawa kemana negara ini?

Kami juga senang pada Don dan Ellie ini karena selera mereka yang merakyat (kelinci). Pernah pada suatu kali, karena ada rezeki berlebih dari Tuhan, kami belikan lah mereka makanan kelinci yang mahal. Saya sudah senang sekali sewaktu berada di toko hewan peliharaan, membayangkan Don dan Ellie akan sangat menyukai hadiah kecil dari kami ini. Harga makanan kelinci yang ini lima kali lipat dibanding yang biasa kamis sajikan bagi mereka—namun dilalah, tak digubris sama sekali! Saya sempat kesal dibuatnya, tapi setelah saya pikir-pikir lagi, saya sangat bersyukur karenanya. Mereka tak hendak membebani kami dengan biaya gaya hidup yang mereka lakukan. Mereka sungguh paham soal selera proletar dan kaum kismin sedunia (manusia dan kelinci).

Don dan Ellie juga membawa saya pada perenungan tentang Ayah di kampung sana. Kami memang bukan keluarga berada. Liburan keluarga tak ada dalam kamus keluarga kami. Meski saya tahu saya sangat ingin. Meski Ayah dan Ibu tahu anak-anaknya sangat ingin. Tapi ingin tak bersua dengan mampu, sehingga ingin senantiasa menjadi angan.

Oleh karena itu, ketika kendaraan akhirnya bisa saya miliki, saya selalu hendak membawa Ayah dan Ibu berlibur kemanapun mereka mau. Entah itu ke Puncak Lawang di Maninjau, Kepulauan Mandeh di Pesisir Selatan, atau ke Jogja, atau ke Arcamanik, atau kemanapun lah… tapi mereka selalu tak mau. Dengan alasan yang selalu sama. Jangan pergi terlalu lama dari rumah, kata mereka, kita punya ternak.

Beberapa waktu lalu kami pergi ke Temanggung untuk pernikahan seorang adik. Sebelum berangkat, Don dan Ellie menjadi pokok pertimbangan kami. Sayur-sayuran dibeli dalam jumlah 3 kali lebih banyak dan disebar di banyak tempat. Tempat minum diisi air penuh dan juga digandakan jumlahnya. Kami tetap berangkat. Dan ternyata tak bisa berlama-lama. Di rumah, kami punya ternak.

P_20180427_054710_resize

Kami cuma punya kelinci. Ayah dan Ibu punya kuda—yang jauh lebih memperlihatkan emosi sebagai peliharaan.

Keberadaan Don dan Ellie tak pernah sama lagi. Selepas akhirnya saya juga menikah dan punya anak, saya seperti menapaktilasi sejarah Ayah—baik setiap keputusannya, ataupun semua pertimbangannya.

Belajar memang perihal mengalami.

Satu Hari dalam Kehidupan Budi Brahmantyo

Ketika kosmologi begitu rumit untuk dipahami, Carl Sagan hadir sebagai penengah bagi masyarakat umum. Dia uraikan apa yang tak mudah dipahami bagi sebagian besar orang. Alhasil tak sedikit yang akhirnya ikut juga menikmati antusiasme yang dia geluti sehari-hari. Jumlah orang yang ‘melihat langit’ bertambah. Begitu juga dengan mereka yang perlahan mulai mempertanyakan tentang asal usul, tentang kemunculan pertama, tentang usia semesta, atau tentang kesedihan yang hadir karena bintang yang berkedip malam ini bisa saja sudah tak ada lagi saat ini. Dia sudah tiada, dan ternyata kita melihat ke masa lalu. Budi adalah Sagan-nya dunia geologi di Indonesia.

Di tangan Budi, geologi dapat menjadi hal yang mengasikkan. Dia bisa mendongeng dengan baik—saya benar-benar menggunakan kata ‘mendongeng’ karena memang begitu lah adanya. Saking asiknya, kita mudah terlena dan mengangguk-angguk saja mendengarkan Beliau, meski kemudian tersadar lagi dan ternyata belum paham benar. Kemampuan berkisah yang baik ini berpadu dengan kerendah-hatian, yang pada akhirnya menjadikan pertemuan dengan Beliau selalu hangat dan menyenangkan. Saya yakin dunia geologi Indonesia berhutang budi cukup banyak kepada Budi karena kepiawaiannya dalam menyebarkan keilmuan geologi.

Nama Budi juga harum dalam dunia wisata, terutama wisata kebumian. Beliau mengampu mata kuliah menyenangkan yang tak pernah sepi peminat di Institut Teknologi Bandung. Mata kuliah itu bernama Geowisata. Isinya apa? Tentu saja sesuai namanya. Dan tentu saja mahasiswa sangat antusias pada kuliah sambil jalan-jalan seperti itu. Dapat saya katakan, Beliau adalah salah satu dari tak banyak orang yang mempopulerkan geowisata di Indonesia, selain ada juga nama lain seperti T. Bachtiar. Kecintaannya berkisah tentang bidangnya dan jalan-jalan mudah sekali terlihat. Cinta itu, kita bisa lihat dari wajahnya yang selalu ceria, dan bila hendak lebih khusuk lagi, lewat sketsa-sketsa yang Beliau buat. Beberapa kali saya lihat, pada sebuah kunjungan ke suatu tempat, dia akan menepi, untuk menggoreskan bentangan yang tengah hadir di depan matanya.

“Dulu, saya menggambarkan bentangan kasarnya, lalu saya detailkan saat sudah kembali tenang di rumah,” akunya.

“Tapi ternyata tidak sebagus seandainya saya selesaikan langsung semuanya di tempat. Feel-nya beda.” Lanjutnya lagi. Di tangannya ada sketsa sebuah gunung di Jawa yang belum saya daki. Dia sedang membanggakan goresan tangannya yang memang bagus.

Jejak Budi juga dapat dilihat pada penetapan status geopark beberapa tempat di Indonesia. Rinjani sudah resmi tahun ini, semoga Toba dan Ciletuh segera menyusul dalam waktu tak lama lagi. Status ini penting, kata Beliau, demi pengakuan dunia internasional, demi peningkatan potensi wisata, demi peningkatan kesadaran pemerintah dalam menjaga alam juga.

Beberapa kelompok rutin melakukan jalan-jalan sambil bertambah pintar setiap tahunnya. Kotak nafkah tempat saya mengadikan diri adalah salah satunya. Lewat inilah saya mengenal Budi lebih jauh. Dari empat kali geowisata yang diadakan kotak nafkah dan mengundang Budi, saya menemani Beliau di tiga antaranya. Padang, Toba, dan Lombok. Saya tak bisa hadir saat berkunjung ke Manado. Dari sana saya membuktikan sendiri bahwa kerja bersama Beliau selalu mudah dan menyenangkan. Dia tak sulit untuk ditemui, berbeda dengan kebanyakan orang mungkin saat sudah menjawab suatu posisi, saat itu jabatan beliau adalah kepala program studi geologi ITB. Kami beberapa kali berbincang di ruangannya di lantai 3 gedung geologi (kalau saya tak salah menghitung lantai), pernah lama kami membicarakan keriuhan tak perlu soal Gunung Padang, atau hubungan antara cerita Frankeinstein dengan letusan Tambora. Atau tentang bagusnya jalur geowisata gugusan pulau-pulau Nusa Tenggara, sayang terkendala jarak antar tujuan yang jauh dan minimnya infrastruktur transportasi dan akomodasi. Sering sekali, di akhir perbincangan, dia menghadiahi saya buku. Buku… sebagai penutup sebuah obrolan yang hangat, adalah salah satu kenikmatan duniawi yang sesungguhnya.

Entah sudah berapa kali Budi diminta untuk menjadi pembicara ataupun pemandu kegiatan geowisata. Saya duga barangkali sudah ratusan. Lintas bidang, lintas organisasi, mulai dari sekolah sampai perusahaan swasta, mulai dari dibayar senyuman sampai dibayar puluhan juta. Agaknya tak pernah jadi masalah benar bagi Beliau.

Dua hari lalu, Budi bersama dengan alumni ITB angkatan ’82—teman angkatannya—hendak melakukan geowisata kecil-kecilan ke Kampung Naga dan Papandayan, Garut. Ada 20 orang yang ikut, Budi salah satunya. Mereka lewat jalan tol Cileunyi. Bis yang mereka kendarai melaju kencang di lajur cepat. Dari sisi kiri ada truk tronton yang melesat ke kanan. Sopir bis tak siap dengan gerak mendadak dan di luar kepatutan truk. Budi, yang berdiri di bagian depan—tempat para pemandu biasa berada, saya duga dia sedang mendongengkan sesuatu—terpental keluar bis. Budi meninggal. Korban lain tak ada. Luka berat nihil. Luka ringan nihil. Tuhan, ini sepertinya memang disiapkan hanya untuk Budi?

.

Kabar itu datang ketika saya sedang berada di Temanggung. Adik saya baru saja menyelesaikan akad nikahnya pagi itu… siangnya kabar ini berhamburan menghampiri. Dunia saya seketika hening, pertanda duka yang kelewat dalam. Saya kehilangan. Benar-benar kehilangan. Tak sekedar saya, pastinya… tapi siapa kiranya pengganti Sagan-nya geologi Indonesia ini? Barangkali tak ada yang benar-benar bisa. Semenyenangkan Beliau. Sehangat Beliau. Serendah hati itu…

Alfatihah. Selamat jalan, Pak Budi. Sampai jumpa lagi!

31466919_10212171864187191_3166143169263828992_n-e

*foto saya ambil dari album Bu Ayu.

Jungle (2017) dan Negeri Dongeng (2017)

Kurang Lebih Dua Film Besar

Selalu menarik melihat film dengan dasar petualangan. Setidaknya diri begitu menyanjung Into the Wild (2007) dan memasukkannya ke dalam 50 film terbaik sepanjang masa versi diri sendiri. Diri juga pernah menikmati Wild (2014) meski tak memasukkannya ke dalam daftar film yang direkomendasikan. Sekali tonton, setelah itu sudah. Tak berlanjut. Ada lagi The Lost City of Z, sebuah film yang didasarkan akan kisah nyata pencarian petualang Inggris dalam menemukan kota emas El Dorado di pedalaman Amazon. Untuk yang ini, bukunya membuat imajinasi lebih hidup dibandingkan filmnya.

Lalu tahun ini setidaknya ada dua film dengan dasar yang sama. Jungle dan Negeri Dongeng. Jungle dibintangi oleh Daniel Radcliffe—dia yang sangat melekat dengan karakter Harry Potter. Sedangkan Negeri Dongeng adalah karya kompilasi dari dokumentasi tim Aksa7art dalam pendakian 7 gunung di Indonesia.

Sesungguhnya tidak mudah menyajikan film dengan tipe petualangan begini karena Kesan hanya bisa didapat dari mengalami. Film seperti ini tak sekedar mengolah adegan ke adegan, tetapi bagaimana menghadirkan emosi yang sesungguhnya kepada para penonton. Dan siapapun tahu itu tidak mudah. Gambaran landscape adalah komponen lain yang berperan sangat besar dalam menghadirkan suasana. Pertarungan sutradara terletak pada kemampuan menciptakan dua puncak emosi berlawanan. Pertama, emosi putus asa yang hadir dari pertarungan dengan diri sendiri, dan yang kedua adalah kebahagiaan yang benar-benar bahagia saat berhasil mencapai tujuan, misalnya saat sampai puncak gunung.

Jungle tidak bermewah-mewah dalam menghadirkan landscape, barangkali karena keterbatasan setting tempat di hutan hujan tropis Bolivia. Tak banyak yang bisa dilihat luas, yang ada hanyalah tumbuhan hijau yang rapat. Tapi film ini mengolah luar biasa perihal pertarungan emosi para pemainnya. Pertanyaannya akan selalu sama. Mengapa kamu naik gunung? Mengapa kamu harus jauh masuk ke jantung hutan hanya untuk bertemu kaum Indian yang tak terjamah peradaban? Apa yang kamu cari? Hal setelah itu adalah Apakah ada orang yang bisa kamu ajak? Orang seperti apa yang bisa diajak menuju keadaan yang bisa jadi sangat tidak bersahabat itu? Atau pertanyaan-pertanyaan serius lain yang berputar-putar di sepanjang perjalanan.

Jungle mengolah itu dengan baik sekali. Kita dapat merasakan bagaimana keputusasaan ditinggal rombongan sendiran di tengah hutan tropis? Bagaimana cara bertahan hidup dari pembunuh-pembunuh kecil hujan tropis—sebagai informasi, pembunuh utama di hutan hujan tropis bukanlah binatang liar berukuran besar, tapi mereka yang kecil seperti serangga, reptil, kutu, lintah, dsb. Film ini berakhir luar biasa membahagiakan (maaf spoiler). Bantuan datang di saat harapan sudah benar-benar hampir habis. Sebuah kelegaan total! Betapa terasa batas antara hidup dan mati, dan saat yang menang adalah hidup, itulah sebenar-benarnya kebahagiaan hidup.

Negeri Dongeng mampu menggugah dengan landscape pegunungan Indonesia yang memang luar biasa indahnya. Meski terdapat inkonsistensi dalam kualitas dokumentasinya, di mana akhir film sepertinya menggunakan tenaga dan alat dokumentasi yang lebih baik, tapi itu tidak mengurangi daya pikat gambar-gambar yang dihadirkan, mulai dari Kerinci hingga Carstenz.

Tapi Negeri Dongeng tak sepenuhnya baik dalam hal emosi yang dihadirkan. Negeri Dongeng sudah punya kecendrungan untuk gagal sejak awal. Baru di pendakian pertama di Kerinci, kita disuguhi petuah-petuah bijak ala pendaki oleh sang Sutradara yang juga ikut di dalam filmnya. Siapapun tahu, tak ada orang yang senang digurui, dan film ini tampak benar berhasrat ingin menggurui kita perihal kesetiakawanan, gotong royong, pendewasaan diri dan hal-hal sejenisnya. Semacam keinginan menjadi pendaki sekaligus Mario Teguh. Sebenarnya ini tidak perlu. Penonton akan lebih mudah memahami dan menerima Pesan tanpa perlu disampaikan dengan gambling—setidaknya seperti di Jungle, terlebih Into the Wild.

Namun ada dua kejadian di Negeri Dongeng yang kaya gejolak emosi. Yang pertama adalah saat salah satu anggota tidak bisa melanjutkan pendakian karena sakit sehingga harus dirawat serius di rumah sakit. Satu lagi, yang membuat saya menangis, adalah ketika Darius mendapat pesan duka di tengah perjalanannya menuju puncak Binaiya di Ambon. Kondisi itu memaksa siapapun harus memilih, melanjutkan perjalanan atau kembali. Ada perang di dalam diri yang harus diselesaikan, ada keputusan yang harus diambil. Darius akhirnya memilih pulang, meninggalkan perjalanan membanggakan yang belum sepenuhnya dia tuntaskan. Gejolak emosinya begitu terasa, dan itu tentu saja kedua hal ini bukanlah bagian yang direncanakan dari Negeri Dongeng. Terakhir, film ini agaknya terlalu membanggakan kelompok sendiri—hal yang wajar, memang, tapi agaknya akan lebih berguna bila tak terlalu ditonjol-tonjolkan. Toh orang tetap akan tahu bahwa itu karya Aksa7art. Sayang sekali.

Tak Mahir Benar

Love of mine, some day you will gone.
But I’ll be close behind, I’ll follow you into the dark.

Tidak enak juga ternyata bila tak menginginkan apa-apa lagi. Serupa sudah sampai pada akhir perjalanan. Atau serupa belum sampai tapi tak ada lagi alasan untuk meneruskan sampai akhir. Ternyata diri tak membutuhkan sebanyak itu. Ternyata diri tak butuh sampai. Ternyata kita hanya butuh sedikit, kata seorang teman. Ternyata.

Alhasil, semua akan menjadi lebih mudah membosankan di matamu. Yang terlihat hanyalah manusia-manusia yang menggelikan, yang bodoh, yang mau menang sendiri, yang pintar membodohi, yang sibuk ke sana ke mari, yang tidak punya keinginan, ataupun yang tiap pagi saya lihat di cermin. Semua jadi menjemukan.

Mungkin karena ini juga saya agak menyesalkan punya relasi dalam dengan beberapa orang—entah sebagai anak, suami, ayah ataupun sekedar teman dekat beberapa orang. Saya tak terlalu mahir dan tertarik untuk sesuatu yang berlangsung selamanya. Terlebih saya bisa saja kehilangan alasan di tengah perjalanan. Saya tak hebat memenuhi harap dan ingin mereka. Tapi beberapa jalan sudah terlanjur ditempuh, alhasil… yang mungkin biarlah datang. Lepaskan… pasrah, kalau kata orang-orang. Terima. Sepenuhnya.

Hidup memang rumit. Ada yang mati-matian hidup, ada yang hidup mati-matian.

And well, I’ll follow you into the dark.